share you some articles, MUST READ ones ;)
PARA CALON DOKTER ITU SOMBONG SEKALI
RSUP Sardjito Yogyakarta, 19 Agustus 2010 13:00 WIB
Berbeda sekali. Sombong sekali. Eksklusif. Ya, itulah kesan yang saya dapatkan melihat tingkah laku beberapa muda-mudi berjas putih dengan sulaman nama berwarna hijau di bagian dada kanan jasnya itu. DOKTER MUDA. Begitu tulisan yang tertera di situ. Mafhum dengan suasana akademis yang sangat terasa di RS itu karena memang dekat dengan kampus Fakultas Kedokteran UGM, tidak serta merta membuat saya mengerti keadaan. Bagaimana tidak, selama kurang lebih satu jam saya duduk di ruang tunggu klinik bagian THT, pemandangan yang paling laris adalah mondar mandirnya para CO-AS (tolong dibenarkan kalau ejaannya salah) berjas putih, berpenampilan kelas tinggi lengkap dengan Blackberry di tangan beberapa di antara mereka. Mungkin situasi ini terkesan normal jika saja tidak terjadi apa yang saya istilahkan dengan EKSKLUSIFITAS dan KESENJANGAN. Sekitar 10 orang mahasiswa berjas ala dokter muda itu hanya mondar mandir di koridor ruangan klinik itu, memainkan perangkat seluler, dan cuek. Bahkan pasien seorang nenek tua pun yang sedari tadi duduk dan nampak pusing sendiri memperhatikan mereka yang bolak balik seperti tanpa pekerjaan, tidak digubris apalagi disapa. Terlebih lagi, di dekat situ ada meja kecil tempat 3 orang berpakaian sama putih namun lebih sederhana, nampaknya mereka petugas kuliah lapangan mahasiswa ilmu keperawatan atau semacamnya. Tugas mereka bertiga nampaknya hanya sekedar memeriksa tensi pasien yang baru masuk, dan urusan administrasi berkas. Nah, saya yakin mereka bertiga tenaga keperawatan ini sudah lebih lama “berdinas” di sini , namun jangankan sapa, sebuah senyuman pun tidak mereka dapatkan dari sepuluh orang “dokter muda” yang bolak balik itu.
Eksklusifitas kelompok memang rumit. Di saat beberapa orang berkumpul hanya dengan orang-orang sekelas mereka, maka butuh kebesaran hati lebih untuk bergabung cerita dengan orang-orang yang lebih sederhana. Butuh alasan khusus mungkin.
Semangat muda para calon dokter ini sepertinya masih menyala-nyala. Mereka masih lebih suka nongkrong dan berbicara ini itu sambil tertawa-tawa di depan orang-orang di sekitar mereka. Beberapa di antara mereka memang menunjukkan tingkah laku “tidak enak” dengan sesekali melihat keadaan pasien, namun yang lainnya nampak menikmati apa yang di benak mereka dianggap sebagai “Profesi yang Spesial karena dicapai dengan pengorbanan yang besar”: Dokter.
Tapi tetap saja, saya kurang nyaman melihat pemandangan ini, apalagi di sebuah rumah sakit umum yang difavoritkan oleh kebanyakan kalangan menengah ke bawah (walaupun harga pelayanannya masih selangit).
Karena ini pulalah saya jadi lebih simpati kepada dokter-dokter tua, maksudnya yang lebih berpengalaman dengan jam terbang sosial yang jauh lebih banyak. Karena menurut saya, menjadi seorang dokter tidak hanya terpaut pada hal-hal anatomi fisik, tapi juga perasaan dan pandangan interpersonal.
Kondisi makro saat ini yang menjadikan seorang dokter adalah investor yang paling rela berkorban materi demi sebuah pengakuan status profesi, menampakkan kesenjangan pelayanan sosial. Alasannya? Ya karena fakta di negara kita sebagian besar masyarakat penikmat pelayanan kesehatan adalah kalangan menengah ke bawah. Di beberapa kasus orang miskin lebih butuh pelayanan ramah di RS daripada orang yang bersedia membayar lebih.
Lalu, bagaimana kita menyiapkan calon dokter masa depan yang bisa menyentuh masyarakat secara simpatik?
Saat ini, penampakan di beberapa RS dan sekolah kedokteran justru meyakinkan kita bahwa seharusnya jaminan kesehatan masyarakat bisa dipulihkan dalam beberapa tahun ke depan. Mengapa? Lha dokter sekarang sudah banyak berseliweran kok!
Jangan sampai menjadi seorang dokter hanya didasari kebutuhan status akademik dan profesi semata.
(semoga ini cukup menjadi kritik sosial demi perbaikan)
find the article here: http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/08/19/para-calon-dokter-itu-sombong-sekali/
and this, :(
(Saya tulis ini ketika saya baru saja “disembuhkan” di sebuah rumah sakit. Inilah cara saya berterima kasih)
Mendung berjuang menurunkan hujan. Kota kami seperti enggan dibasahi. Segerombolan burung pipit terbang riang. Mereka mengejek para pasien di rumah sakit yang sedang mengerang. Dua orang perawat berlari kecil membawa obat-obatan dan beberapa kantong infus. Saya berpikir. Tak habis pikir. Untuk apa rumah sakit didirikan?
Saat sakit kita benar-benar paham betapa sesungguhnya Tuhan itu mahapemurah. Satu kantong bahan infus berisi nutrisi lengkap harus ditebus seharga Rp 600.000. Hanya untuk 12 jam. Sementara di warteg kita hanya perlu mengeluarkan selembar 5 ribuan untuk seonggok makanan yang cukup memberi kita hidup selama 6 jam. Dari infus seharga 600 ribu rupiah itu tak ada kenikmatan lidah. Tak ada kenikmatan perut kenyang.
Lalu, untuk apa rumah sakit didirikan?
Saya teringat pada orang-orang yang menolak kehadiran lembaga semacam rumah sakit dan sekolah. Dalam pendangan mereka, lembaga-lembaga itu hanya akan merusak kemandirian orang-per orang. Lembaga-lembaga itu membelenggu orang ke dalam cara berpikir yang serba tergantung. Lembaga-lembaga itu tidak menjadikan orang paham apa makna kesehatan dan tidak membiarkan ilmu kedokteran menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Paulo Praire, seorang aktivis dari Brazil, misalnya, mendidik masyarakat di bawah tenda-tenda, mengajari mereka cara hidup, cara membaca, cara menyerap ilmu, tanpa harus “bersekolah”. Ia juga menganjurkan agar semua orang belajar menganalisis penyakit pada dirinya dan berlatih mengobati diri sendiri, sehingga tidak tergantung pada dokter –manusia yang sangat sering salah mendeteksi penyakit dan salah memberi terapi.
Lembaga-lembaga sejenis rumah sakit dan fakultas kedokteran didirikan untuk mencetak manusia-manusia angkuh yang bernama dokter, yang menulis resep dengan tulisan cakar ayam agar tak terbaca, dan menganggap dirinya sebagai dewa penyembuh yang merasa berhak menerima bayaran tinggi dari orang-orang menderita. Mereka kemudian menghimpun diri ke dalam organisasi angker yang hanya berfungsi untuk saling bela bila ada sejawat mereka yang nakal dan berbuat salah. Tak ada hukum bagi dokter dalam melaksanakan praktik. Bahkan tak ada dokter yang bisa berbuat salah. Mereka selalu benar. Bahkan ketika pasiennya harus dioperasi berkali-kali karena kesalahan sang dokter, dan akhirnya mati, dokter tetap saja tidak bersalah. Tidak bisa salah.
Menjadi dokter adalah kerja hebat dengan pendapatan hebat pula. Dokter adalah menantu idaman, jaminan masa depan cerah bagi anak gadis. Dokter adalah manusia dengan jubah putih yang berjalan dengan kepala tegak di lorong-lorong rumah sakit. Mereka dicetak di sebuah lembaga bernama fakultas kedokteran yang menyaring calon mahasiswanya dengan bilangan rupiah (di antara lulusan SMA terbaik). Suatu kali saya pernah berkata kepada anak saya, “Kalau ingin menjadi dokter, pilihlah perguruan tinggi yang tidak mengajarkanmu bagaimana meraih keuntungan dari setiap pasien yang datang padamu. Carilah perguruan tinggi yang mengajarkan hati nurani, kemanusiaan, dan pengorbanan untuk orang lain.” Anak saya bertanya, “Di mana adanya perguruan tinggi seperti itu?” Saya terdiam dan mendesis, “Di sorga.”
Sayangnya kita tidak hidup di sorga. Sayangnya anak-anak fakultas kedokteran diajar oleh para dokter yang datang memamerkan mobil mewah, tak tahu cara mengajarkan kesederhanaan dan pengabdian pada kemanusiaan. Mahasiswa pun silau oleh kemewahan itu. Cita-cita mereka adalah bekerja pada rumah sakit megah, membuka praktik di kota besar, meraup rupiah dari puluhan pasien yang datang tiap hari (juga komisi dari setiap obat paten yang ditulis di resep).
Lalu, untuk apa rumah sakit didirikan?
Saya tidak tahu. Sungguh, saya tidak tahu. Saya membayangkan setiap orang bisa merawat dirinya sendiri di rumah. Dokter, tabib, dukun, atau apalah namanya, datang sesekali memberi saran. Tapi kita terlanjur terjebak oleh sebuah pikiran: kalau sakit harus ke rumah sakit, dikumpulkan bersama pasien lain dalam sal yang sangat mengerikan. Bayangkanlah perasaan seorang pasien yang harus menyaksikan pasien di sebelahnya meninggal dunia. Bayangkanlah kesengsaraan yang diderita pasien di sebuah sal RS harus menutup telinga karena “tetangga”-nya mengerang-erang tiap malam.
Pengetahuan tentang kesehatan seakan dibiarkan tertutup dan hanya boleh diturunkan kepada calon dokter. Selain dokter tak ada hak orang lain untuk melakukan pengobatan ala kedokteran. Entah apa alasannya. Toh tukang batu boleh saja membangun rumah tanpa kehadiran arsitek. Toh montir sepeda motor boleh saja membongkar mesin tanpa kehadiran seorang insinyur mesin. “Ya, ini berurusan dengan manusia, berurusan dengan hidup manusia.” Ya. Ini berurusan dengan nyawa manusia. Tapi siapa yang bisa menjamin seorang dokter lebih pintar ketimbang tabib?
Kita, memang, sangat senang menjebakkan diri ke dalam hal-hal yang membatasi. Kita bahagia berada dalam kemapanan dan tak ingin membangun kemungkinan-kemungkinan baru. Kita terjebak dalam rumus-rumus yang telah ditemukan sebelumnya dan tidak mencoba memecahkannya untuk menemukan yang lebih baru. Padahal sejarah selalu dibangun oleh “orang-orang gila” yang selalu gelisah melihat kemapanan dan ingin keluar darinya. Sejarah dibangun oleh Jesus, Muhammad, Buddha, dan nama-nama besar lainnya karena mereka enggan larut dalam kemapanan yang menyesatkan.
Bumi, manusia, dan peradaban, kini butuh pikiran-pikiran gila yang berani.
n ketut syahruwardi abbas
find the article here: http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/rumah-sakit
too much about the health-care-giver :(
Mind First
6 days ago
No comments:
Post a Comment