Wednesday, August 25, 2010

If you're..

If you can't be there.. don't. Stop telling people that you will be there, It's better to tell people the truth up front. That way you can spare some feelings and you don't get caught in a bunch of lies/trouble.

If you have something to say.. say it or shut it. Don't go behind peoples backs. There is no reason to say it to someone else if you can't tell it to the person it's about.

If you want it.. go for it. Take a risk. Don't always play it safe or you'll die wondering.

If you love someone.. let them know. Anything could happen to you or the person so tell them while you have a chance. It could change everything.

If you're stuck.. make the best of it. There is obviously nothing you can do so whining and complaining isn't going to do anything-there is a difference between expressing how you feel and complaining. Put forth your best attitude and you just may get out of the mess.. possibly with a different perspective.

If you're troubled.. take time to think about it. Nothing good ever comes out of rash decisions. If it's important enough to trouble you then it's important enough to think about-think deep you'll figure out something.

If you're being taken advantage of.. let go. Get rid of all thoughts of the person. There is no reason to continue to surround yourself with the person who is taking advantage of you.

If you're going to criticize someone else.. admit your own mistakes first. Everyone makes mistakes. But be aware of your own before you point out someone elses.

break-fasting w/ girls :)



Tuesday, August 24, 2010

the controversial things (2)

my senior's note about this thing..

sebuah catatan,hanyalah sebuah opini dari hasil pengamatan dan pengalaman(tentang ptt,ukdi dan segala kewajiban dokter lainnya)

by Pikasa Retsyah Dipayana on Tuesday, 24 August 2010 at 15:21

Saat ini (mungkin bukan saat ini saja ya,tapi anggaplah lebih dari biasanya) para calon dokter dan dokter sedang disorot media, baik karena opini salah satu orang yg kebetulan ada di rs(baca kompasiana:para dokter muda itu sombong sekali. yang ditulis oleh orang yg kebetulan ada di rumah sakit itu diluar jam kerja dan tidak tercatat di daftar pasien) maupun soal demo para dokter muda menolak ujian kompetensi dokter indonesia(ukdi)

Saya ingin menyikapi yg kedua,saya dengan tegas menolak ujian kompetensi dan segala kebijakan diskriminatif yang jika kita lihat lebih dalam hanyalah pelarian pemerintah dari masalah sebenarnya.

mungkin ada yg berpikir,pasti dokter ini tidak lulus ujian kompetensi,sayangnya anda harus kecewa,saya,mahasiswa fk unair dengan ipk dibawah 3,lulus ukdi tanpa belajar dan hanya menggunakan satu jam dari total tiga jam waktu pelaksanaan ukdi. benar tidaknya ini bagi anak unair bisa ditanyakan ke mbak rina,ataupun mas heru di bagian pbl yg waktu itu melihat sendiri.

apa maksud saya menyombong seperti itu?itu bukan menyombong,ujian seperti itukah yg diharapkan menilai kompetensi dokter indonesia.oke ada yg tidak lulus,mungkin faktor nasib seperti saya juga bisa lulus karena faktor nasib,jadi yg diuji kompetensi atau nasib?

bagi yg tidak lulus,bisa mengulang di periode berikutnya,bila tidak lulus lagi ada modul sampe lulus dan pasti lulus. jadi intinya ujian kompetensi hanyalah masalah waktu,cepat atau lambat pasti lulus.ujian seperti inikah yg diharapkan sejawat sekalian meningkatkan kualitas dokter?

oke ujian ini akan diarahkan ke ujian osce seperti yang yang dianut banyak universitas saat ini, tapi bagaimna mekanismenya saat tidak lulus?tetapkah setelah mengulang beberapa kali pasti lulus?

Kalo ujian ini begitu mudahnya,dan pasti lulus,adakah alasan untuk menolaknya? Jawabnya ya, BIROKRASI ujian ini terlalu membuang tenaga,waktu dan biaya apalagi jika akhirnya ujian yang diberikan sama atau bahkan dibawah standar kelulusan universitas masing-masing. Sebagai gambaran pengalaman saya ya, sejak setelah lulus dan dilantik sebagai dokter, ikut UKDI,sampai menerima STR dan selesai mengurus surat ijin praktek,semuanya selesai dalam waktu 7 bulan. Dan selama 7 bulan itu saya tidak bisa dan tidak boleh memeriksa pasien sama sekali. Menurut anda, lebih kompeten mana dokter fresh graduate dengan yang sudah menganggur 7 bulan? Anda yang memutuskan.

Lepas dari masalah layak atau tidaknya ujian itu, apa yang membuat profesidokter, harus diperlakukan berbeda dari profesi lain? Apakah para dosenfakultas Kedokteran sedemikian tidak kompetennya,sehingga para dosen jurusanteknik, farmasi, akuntansi, hukum, sosial politik dan lainnya dapat langsung meluluskan anakdidiknya tanpa perlu diragukan kompetensinya. Kesenjangan ilmu antaruniversitas itu pasti terjadi, di jurusan apapun, tapi tetap tidak ada ujiankompetensi untuk menyetarakan lulusan ITB dan lulusan institute swasta dari kota kecil.

Ada alasan,bahwa dokter adalah profesi yang berhubungan dengan nyawa, saya jawab semuamemiliki porsi masing-masing dalam suatu proses menyelamatkan sebuah nyawa.Saya ingat kasus kesalahan pemberian obat karena kekurangan kompetensi asistenapoteker pembca resep, maupun kasus sangkaan malpraktek saat dokter anestesimengalirkan oksigen dari tabung berlabel O2 tetapi salah isi dengan CO2.

Bahkan seringkali pasien seorang dokter itu meninggal bukan karena kurang kompetensi tetapi karena obat dan alat yang mendukung kompetensi itu tidak ada dan untuk merujuk ke yang lebih lengkap sering transportasinya tidak ada. Jelas masalahnya lebih kompleks dari ada tidaknya dokter yang kompeten kan?


Sekarang coba kita berpikir sedikit out of the box ya:)


kebijakan pemerintah kepada dokter biasanya diawali tuntutan masyarakat atau dunia.katakanlah puluhan tahun yang lalu,saat ada wajib kerja sarjana(yg herannya meskipun ga ada tulisannya tapi khusus fk dan fkg) atau yang saat ini disebut PTT(pegawai tidak tetap), pemerintah dituntut meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya secara merata dengan apapun indikatornya,ambil saja satu angka kematian ibu.maka diadakanlah program wajib kerja sarjana tadi sebagai solusi instan masalah tadi(kita sebagai dokter tahu,bukan hanya pemerintahnya yg doyan yg instan,masyarakat juga). tidak salah,tapi tidak benar juga,karena masalah kesehatan bukan hanya tidak adanya dokter, tapi masalah yg kompleks mulai sistem kesehatan,rujukan dan juga masalah teknis seperti ketersediaan transportasi maupun pembangunan segala aspek di daerah yg harusnya,mulai dicicil sejak puluhan tahun yang tahun juga.

sekarang,puluhan tahun sejak dokter wajib kerja sarjana pertama diberangkatkan,bagaimana hasilnya?sudahkah kita,berhasil meningkatkan kesehatan masyarakat kita,seperti yang dilakukan negara tetangga kita, yg notabene merdeka setelah kita? berhasilkah kita menurunkan angka kematian ibu seperti harapan puluhan tahun yang lalu?apakah kondisi lain yang saya harap dicicil pemerintah itu sudah ada pada kondisi yang seharusnya?saya rasa tidak perlu saya jawab.

jika ada yg beranggapan saya tidak mau mengabdi bisa dikonfirmasi posisi saya sekarang di pulau sangkulirang,kabupaten kutai timur,kalimantan timur,12 jam dari bandara balikpapan.cukup terpencil dibandingkan kondisi beberapa daerah sangat terpencil yang ditetapkan depkes.

Sekarang setelah beberapa puluh tahun indonesia merdeka,masyarakat masih menuntut karena jeleknya pelayanan kesehatan, banyaknya malpraktek(menurut media,karena suatu kasus yg diberitakan malpraktek, saat diputuskan hakim bukan malpraktek tidak bakal dimuat putusan itu di media tadi) dan banyaknya pasien indonesia yang berobat keluar negeri.

lagi2 pemerintah mengambil jalan pintas,tingkatkan kompetensi dokter,standarisasi dengan ujian kompetensi dan surat registrasi.

dan dokter,yang kebanyakan memang berhati mulia(meskipun saya tidak menutupi ada yg tidak) menurut dan tidak menolak.

sekarang,setelah hampir 5 tahun pelaksanaan ujian kompetensi dokter,adakah harapan tadi tercapai?meningkatkah pelayanan kesehatan?berkurangkah pemberitaan malpraktek dan pasien yang berobat keluar negeri?

Sekali lagi,pemerintah sadar atau tidak,pelayanan itu bukan masalah satu orang dokter,itu masalah sistem keseluruhan,dan harus diperbaiki secara simultan bukan cuma satu aspek saja.

sebagai gambaran, ambil contoh singapore, tempat orang kita sering lari untuk berobat.kita bahas satu persatu masalahnya ya

1.Dokter tidak manusiawi,tidak menganggap pasien manusia, tidak ramah pada pasien

tidak ada pembelaan diri,mungkin,bukan, pasti banyak yang seperti itu. tapi coba kita ambil perbandingan ya. di Singapore,satu dokter hanya memegang pasien dengan jumlah yang manusiawi,di Indonesia?seorang dokter puskesmas bisa melayani 100 pasien sehari.

di Singapore setiap pasien dijamin asuransi,jika pasien itu dari luar negeri jika ga punya asuransipun pasti mampu kan.pernah tahu kasus pasien di luar negeri warga negara asing yang tidak punya asuransi dan uang? saya pernah dan percayalah saat itu perlakuan dokter Indonesia masih jauh lebih manusiawi.

Dokter juga manusia,saya berat menulisnya tapi kami juga butuh materi,tapi percayalah kami tidak materialistis(saya masih menarik tarif flat 35ribu/pasien periksa+obat,saat harga sepiring nasi di warung emperan disini 25ribu).haram hukumnya kami menolak pasien karena uang(semoga laknat Tuhan bagi yang melakukannya),tapi terus terang hal itu juga mempengaruhi sikap kami. bukan salah kami semata2 sebenarnya,adakah diantara teman2 non dokter yang membaca note ini yang tidak jengkel saat antri lama di dokter padahal anda merasa membayar?pemikiran semacam itulah yg membuat kami juga secara alam bawah sadar membedakan pasien yang bayar dan tidak bayar(meskipun saya tidak pernah tidak melayani bahkan asal pasiennya bilang pasti saya gratiskan periksa dan obatnya-yang saya beli dengan uang saya)

jujur,menghadapi pasien dengan pikiran bercabang masalah uang (dan berbagai masalah lainnya termasuk ribetnya jadi dokter di Indonesia) itu pasti berbeda dengan dokter di singapore yang tidak berpikir masalah itu. dan harus diakui, uang itu seperti candu, jadi kalo kami mendapatkan uang sesuai jumlah pasien pasti orang kecanduan akan mencari pasien sebanyak2nya kan? meskipun alhamdulillah, saya bisa dikatakan tidak kecanduan(bukannya menyombong tapi silahkan tanya perawat yang mendampingi saya disini). itu agak sedikit berbeda dengan sistem di singapore dimana dokter tidak dikondisikan untuk mencari pasien sebanyak-banyaknya.

2.Rumah sakit di Indonesia pernah menolak pasien

sistem asuransi ini vital,dan inilah yang membedakan pelayanan kita dan luar negeri.segala masalah tadi tidak akan terjadi jika kita punya asuransi yang baik.

kan ada askes dan askeskin?tahukah anda berapa jasa dokter menurut askes,hanya beberapa puluh rupiah setiap visite(benar anda tidak salah baca,beberapa rupiah,dan ini belum diredenominasi).layakkah itu?anda yang memutuskan.

Saat saya masih dokter muda,sempat terjadi kasus besar penolakan pasien maskin di RSUD dr.Soetomo Surabaya,karena Askes masih menunggak tagihan alat dan obat sebesar hampir 100 milyar rupiah kalo tidak salah. menurut anda hebatkah sebuah rumah sakit pemerintah yang nirlaba mempunyai uang sebesar itu?tidak itu juga utang dari supplier alat dan obat.jadi salah siapa?

kalo ada pasien datang ke sebuah rumah sakit, butuh pertolongan, percayalah dokter dan paramedis disana tidak jarang keluar uang untuk membelikan obat maupun alat buat pasien tadi karena rumah sakit sudah tidak bisa(bukan tidak mau)ngutang lagi. tapi sampe berapa banyak? kami,dokter bukanlah orang kaya(sebagai contoh saya hanya meminta jasa periksa antara 5-10 ribu perpasien,tidak sebesar yang anda bayangkan kan?;)

3.Dokter di Indonesia tidak kompeten

yah,harus diakui itu(membantah hanya semakin memperjelas kekurangan kan).tapi bisa dilihat kondisinya?apakah Indonesia memiliki peralatan secanggih singapore?apakah setiap pasien yang datang di Indonesia,bisa(dan mampu membayar) pengobatan sesuai batas kompetensi yang dimiliki dokter?di singapore setiap pasien yang perlu dibedah, bisa langsung dibedah tanpa banyak pertimbangan?100 pasien yang datang ke dokter singapore, 100 yang bisa dibedah,makin ahli dokternya.di indonesia,100 pasien perlu dibedah,mungkin hanya 10 yang langsung dibedah,mungkin 30 pikir2 dulu sampe makin parah dan pembedahannya makin sulit,30 ke ponari dulu sampe saat kembali kedokter penyakitnya sudah tidak mungkin dibedah,dan sisanya tidak pernah kembali dan mati karena penyakitnya. bisa dilihat adanya kesenjangan pengalaman yg masalahnya hanya karena sistem penjaminan kesehatan kita tidak layak.

4.Pengobatan di Indonesia mahal

Jujur,saya paling marah dengan hal ini.tahukah anda bahwa berobat ke puskesmas itu hanya 2000 rupiah,bahkan gratis di beberapa tempat jika membawa ktp dan gratis dimanapun di seluruh indonesia bila anda membawa surat keterangan tidak mampu. bahkan saat ke ponari minimal orang membayar 5 ribu rupiah

5.Puskesmas atau rumah sakit antri

pasien berobat ke Ponari antri sampai pasien mati terinjak-injak.

tidak pernahkah anda sadar bahwa itu hanya provokasi pers untuk menjatuhkan pemerintah? dokter selalu ada di posisi dijelekkan pers untuk menjatuhkan pemerintah dan ditekan pemerintah untuk menyenangkan pers.tidakkah ada yang sadar itu? antrian itu menunjukkan, gampang sekali,jumlah puskesmas dan sarana pendukungnya kurang,dan itu tdak bisa diselesaikan dengan ukdi.

6.Berobat di Puskesmas tidak sembuh

speechless.tidak tahu apa yang harus dikatakan soal ini. ini merupakan lingkaran setan kesalahan sistem masyarakat,pemerintah dan dokter sendiri.

tahukah anda bahwa kami para dokter di puskesmas diwajibkan memberi obat generik, tahukah anda bahwa tidak ada penyakit yang sembuh dengan sekali minum obat,kombinasi antara pasien yang tidak sabar segera sembuh dan dokter yang takut tidak dapat pasien karena pikirannya yang bercabang memikir uang menyebabkan terapi yang berlebihan dan tidak rasional yang membuat obat generik puskesmas itu hampir tidak berguna lagi.

belum lagi ditambah apotik yang menjual obat tanpa resep dokter sehingga antibiotik abuse meningkat dan menyebabkan resistensi obat. belum lagi manajemen dinas kesehatan yang tidak bagus sehingga seringkali kami menerima obat hanya 2 bulan sebelum masa kadaluarsa.

Kesimpulannya, masalah kesehatan di Indonesia kompleks dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan meningkatkan kompetensi dokter atau apapun kebijakan yang diskriminatif tertuju kepada dokter,baik ptt maupun penempatan post internship. Masalah kesehatan ini harusnya diselesaikan secara komprehensif, dan butuh dana yang besar, sementara pemerintah dan wakil rakyat kita tidak ada niat untuk itu. Sebagai gambaran, ada yang tahu berapa persen alokasi anggaran kesehatan kabupaten kutai timur, yang batu baranya bahkan dibuat nguruk jakarta bisa, hanya kurang dari satu persen! apa yang anda harapkan dari itu. biar dokternya lulusan havard apa bisa membuat pelayanan kita setara singapore. masalahnya di sistem, dan kalo kita diam, ukdi,penempatan dokter dan segala kebijakan itu hanyalah semacam painkiller yang memuaskan pers dan masyarakat sejenak tapi tidak mengobati masalah sebenarnya.

Dengan anggaran pendidikan yang sedemikian besarnya, tingkatkan saja kompetensi secara komprehensif di universitas, jangan lagi bebani dokter dengan ujian yang sebenarnya hanyalah pengulangan ujian akhir universitas. Pemborosan waktu, biaya dan tenaga. Mengenai penempatan,tanpa diwajibkan, setiap periode dinkes menolak puluhan bahkan mungkin ratusandokter yang minta ditempatkan. Perbaiki saja sistemnya, maka dokter pasti dengan sukarela dan biaya sendiri bersedia berangkat ke daerah terpencil. Mewajibkan dokter ke daerah itu sebenarnya hanyalah bentuk lepas tanggung jawab pemerintah yang tidak mampu(atau mungkin tidak mau) mendanai keberangkatan dokter ke daerah. cukuplah puluhan tahun penempatan dan lima tahun ukdi ini sebagai tolak ukur, jika tujuannya tidak tercapai untuk apa dilanjutkan,ibarat memberi painkiller ke pasien kanker stadium awal kita tinggal menunggu makin parah saja. berulang-ulang melakukan cara yang sama tapi mengharapkan hasil yang berbeda itu sebuah kebodohan bukan. Kritisi kebijakan, jangan telan mentah2 atau negara kita makin parah. Semoga ini bisa membantu negara kita ke arah yang lebih baik.

Pikasa Retsyah Dipayana
FK Unair 2001-2007
PNS Kabupaten Kutai Timur-Kalimantan Timur

the controversial things

share you some articles, MUST READ ones ;)

PARA CALON DOKTER ITU SOMBONG SEKALI
RSUP Sardjito Yogyakarta, 19 Agustus 2010 13:00 WIB

Berbeda sekali. Sombong sekali. Eksklusif. Ya, itulah kesan yang saya dapatkan melihat tingkah laku beberapa muda-mudi berjas putih dengan sulaman nama berwarna hijau di bagian dada kanan jasnya itu. DOKTER MUDA. Begitu tulisan yang tertera di situ. Mafhum dengan suasana akademis yang sangat terasa di RS itu karena memang dekat dengan kampus Fakultas Kedokteran UGM, tidak serta merta membuat saya mengerti keadaan. Bagaimana tidak, selama kurang lebih satu jam saya duduk di ruang tunggu klinik bagian THT, pemandangan yang paling laris adalah mondar mandirnya para CO-AS (tolong dibenarkan kalau ejaannya salah) berjas putih, berpenampilan kelas tinggi lengkap dengan Blackberry di tangan beberapa di antara mereka. Mungkin situasi ini terkesan normal jika saja tidak terjadi apa yang saya istilahkan dengan EKSKLUSIFITAS dan KESENJANGAN. Sekitar 10 orang mahasiswa berjas ala dokter muda itu hanya mondar mandir di koridor ruangan klinik itu, memainkan perangkat seluler, dan cuek. Bahkan pasien seorang nenek tua pun yang sedari tadi duduk dan nampak pusing sendiri memperhatikan mereka yang bolak balik seperti tanpa pekerjaan, tidak digubris apalagi disapa. Terlebih lagi, di dekat situ ada meja kecil tempat 3 orang berpakaian sama putih namun lebih sederhana, nampaknya mereka petugas kuliah lapangan mahasiswa ilmu keperawatan atau semacamnya. Tugas mereka bertiga nampaknya hanya sekedar memeriksa tensi pasien yang baru masuk, dan urusan administrasi berkas. Nah, saya yakin mereka bertiga tenaga keperawatan ini sudah lebih lama “berdinas” di sini , namun jangankan sapa, sebuah senyuman pun tidak mereka dapatkan dari sepuluh orang “dokter muda” yang bolak balik itu.

Eksklusifitas kelompok memang rumit. Di saat beberapa orang berkumpul hanya dengan orang-orang sekelas mereka, maka butuh kebesaran hati lebih untuk bergabung cerita dengan orang-orang yang lebih sederhana. Butuh alasan khusus mungkin.

Semangat muda para calon dokter ini sepertinya masih menyala-nyala. Mereka masih lebih suka nongkrong dan berbicara ini itu sambil tertawa-tawa di depan orang-orang di sekitar mereka. Beberapa di antara mereka memang menunjukkan tingkah laku “tidak enak” dengan sesekali melihat keadaan pasien, namun yang lainnya nampak menikmati apa yang di benak mereka dianggap sebagai “Profesi yang Spesial karena dicapai dengan pengorbanan yang besar”: Dokter.

Tapi tetap saja, saya kurang nyaman melihat pemandangan ini, apalagi di sebuah rumah sakit umum yang difavoritkan oleh kebanyakan kalangan menengah ke bawah (walaupun harga pelayanannya masih selangit).

Karena ini pulalah saya jadi lebih simpati kepada dokter-dokter tua, maksudnya yang lebih berpengalaman dengan jam terbang sosial yang jauh lebih banyak. Karena menurut saya, menjadi seorang dokter tidak hanya terpaut pada hal-hal anatomi fisik, tapi juga perasaan dan pandangan interpersonal.

Kondisi makro saat ini yang menjadikan seorang dokter adalah investor yang paling rela berkorban materi demi sebuah pengakuan status profesi, menampakkan kesenjangan pelayanan sosial. Alasannya? Ya karena fakta di negara kita sebagian besar masyarakat penikmat pelayanan kesehatan adalah kalangan menengah ke bawah. Di beberapa kasus orang miskin lebih butuh pelayanan ramah di RS daripada orang yang bersedia membayar lebih.

Lalu, bagaimana kita menyiapkan calon dokter masa depan yang bisa menyentuh masyarakat secara simpatik?

Saat ini, penampakan di beberapa RS dan sekolah kedokteran justru meyakinkan kita bahwa seharusnya jaminan kesehatan masyarakat bisa dipulihkan dalam beberapa tahun ke depan. Mengapa? Lha dokter sekarang sudah banyak berseliweran kok!

Jangan sampai menjadi seorang dokter hanya didasari kebutuhan status akademik dan profesi semata.

(semoga ini cukup menjadi kritik sosial demi perbaikan)
find the article here: http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/08/19/para-calon-dokter-itu-sombong-sekali/

and this, :(

(Saya tulis ini ketika saya baru saja “disembuhkan” di sebuah rumah sakit. Inilah cara saya berterima kasih)

Mendung berjuang menurunkan hujan. Kota kami seperti enggan dibasahi. Segerombolan burung pipit terbang riang. Mereka mengejek para pasien di rumah sakit yang sedang mengerang. Dua orang perawat berlari kecil membawa obat-obatan dan beberapa kantong infus. Saya berpikir. Tak habis pikir. Untuk apa rumah sakit didirikan?

Saat sakit kita benar-benar paham betapa sesungguhnya Tuhan itu mahapemurah. Satu kantong bahan infus berisi nutrisi lengkap harus ditebus seharga Rp 600.000. Hanya untuk 12 jam. Sementara di warteg kita hanya perlu mengeluarkan selembar 5 ribuan untuk seonggok makanan yang cukup memberi kita hidup selama 6 jam. Dari infus seharga 600 ribu rupiah itu tak ada kenikmatan lidah. Tak ada kenikmatan perut kenyang.

Lalu, untuk apa rumah sakit didirikan?

Saya teringat pada orang-orang yang menolak kehadiran lembaga semacam rumah sakit dan sekolah. Dalam pendangan mereka, lembaga-lembaga itu hanya akan merusak kemandirian orang-per orang. Lembaga-lembaga itu membelenggu orang ke dalam cara berpikir yang serba tergantung. Lembaga-lembaga itu tidak menjadikan orang paham apa makna kesehatan dan tidak membiarkan ilmu kedokteran menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.

Paulo Praire, seorang aktivis dari Brazil, misalnya, mendidik masyarakat di bawah tenda-tenda, mengajari mereka cara hidup, cara membaca, cara menyerap ilmu, tanpa harus “bersekolah”. Ia juga menganjurkan agar semua orang belajar menganalisis penyakit pada dirinya dan berlatih mengobati diri sendiri, sehingga tidak tergantung pada dokter –manusia yang sangat sering salah mendeteksi penyakit dan salah memberi terapi.

Lembaga-lembaga sejenis rumah sakit dan fakultas kedokteran didirikan untuk mencetak manusia-manusia angkuh yang bernama dokter, yang menulis resep dengan tulisan cakar ayam agar tak terbaca, dan menganggap dirinya sebagai dewa penyembuh yang merasa berhak menerima bayaran tinggi dari orang-orang menderita. Mereka kemudian menghimpun diri ke dalam organisasi angker yang hanya berfungsi untuk saling bela bila ada sejawat mereka yang nakal dan berbuat salah. Tak ada hukum bagi dokter dalam melaksanakan praktik. Bahkan tak ada dokter yang bisa berbuat salah. Mereka selalu benar. Bahkan ketika pasiennya harus dioperasi berkali-kali karena kesalahan sang dokter, dan akhirnya mati, dokter tetap saja tidak bersalah. Tidak bisa salah.

Menjadi dokter adalah kerja hebat dengan pendapatan hebat pula. Dokter adalah menantu idaman, jaminan masa depan cerah bagi anak gadis. Dokter adalah manusia dengan jubah putih yang berjalan dengan kepala tegak di lorong-lorong rumah sakit. Mereka dicetak di sebuah lembaga bernama fakultas kedokteran yang menyaring calon mahasiswanya dengan bilangan rupiah (di antara lulusan SMA terbaik). Suatu kali saya pernah berkata kepada anak saya, “Kalau ingin menjadi dokter, pilihlah perguruan tinggi yang tidak mengajarkanmu bagaimana meraih keuntungan dari setiap pasien yang datang padamu. Carilah perguruan tinggi yang mengajarkan hati nurani, kemanusiaan, dan pengorbanan untuk orang lain.” Anak saya bertanya, “Di mana adanya perguruan tinggi seperti itu?” Saya terdiam dan mendesis, “Di sorga.”

Sayangnya kita tidak hidup di sorga. Sayangnya anak-anak fakultas kedokteran diajar oleh para dokter yang datang memamerkan mobil mewah, tak tahu cara mengajarkan kesederhanaan dan pengabdian pada kemanusiaan. Mahasiswa pun silau oleh kemewahan itu. Cita-cita mereka adalah bekerja pada rumah sakit megah, membuka praktik di kota besar, meraup rupiah dari puluhan pasien yang datang tiap hari (juga komisi dari setiap obat paten yang ditulis di resep).

Lalu, untuk apa rumah sakit didirikan?

Saya tidak tahu. Sungguh, saya tidak tahu. Saya membayangkan setiap orang bisa merawat dirinya sendiri di rumah. Dokter, tabib, dukun, atau apalah namanya, datang sesekali memberi saran. Tapi kita terlanjur terjebak oleh sebuah pikiran: kalau sakit harus ke rumah sakit, dikumpulkan bersama pasien lain dalam sal yang sangat mengerikan. Bayangkanlah perasaan seorang pasien yang harus menyaksikan pasien di sebelahnya meninggal dunia. Bayangkanlah kesengsaraan yang diderita pasien di sebuah sal RS harus menutup telinga karena “tetangga”-nya mengerang-erang tiap malam.

Pengetahuan tentang kesehatan seakan dibiarkan tertutup dan hanya boleh diturunkan kepada calon dokter. Selain dokter tak ada hak orang lain untuk melakukan pengobatan ala kedokteran. Entah apa alasannya. Toh tukang batu boleh saja membangun rumah tanpa kehadiran arsitek. Toh montir sepeda motor boleh saja membongkar mesin tanpa kehadiran seorang insinyur mesin. “Ya, ini berurusan dengan manusia, berurusan dengan hidup manusia.” Ya. Ini berurusan dengan nyawa manusia. Tapi siapa yang bisa menjamin seorang dokter lebih pintar ketimbang tabib?

Kita, memang, sangat senang menjebakkan diri ke dalam hal-hal yang membatasi. Kita bahagia berada dalam kemapanan dan tak ingin membangun kemungkinan-kemungkinan baru. Kita terjebak dalam rumus-rumus yang telah ditemukan sebelumnya dan tidak mencoba memecahkannya untuk menemukan yang lebih baru. Padahal sejarah selalu dibangun oleh “orang-orang gila” yang selalu gelisah melihat kemapanan dan ingin keluar darinya. Sejarah dibangun oleh Jesus, Muhammad, Buddha, dan nama-nama besar lainnya karena mereka enggan larut dalam kemapanan yang menyesatkan.

Bumi, manusia, dan peradaban, kini butuh pikiran-pikiran gila yang berani.

n ketut syahruwardi abbas
find the article here: http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/rumah-sakit

too much about the health-care-giver :(

Thursday, August 19, 2010

cotton candy



i couldn't disagree more that cotton candy's one of the girl's guilty pleasure :))
buzz! i miss you..

Wednesday, August 18, 2010

Things that a Perfect man would do ;)

1. Know how to make you smile when you are down.
2. Try to secretly smell your hair, but you always notice.
3. Stick up for you, but still respect your independence.
4. Give you the remote control during the game.
5. Come up behind you and put his arms around you.
6. Play with your hair.
7. His hand would always find your hand.
8. Be cute when he really wants something.
9. Offer you plenty of massages.
10. Dance with you, even if he feels like a dork.
11. Never run out of love.
12. Be funny, but know when to be serious.
13. Realize he's being funny when he needs to be serious.
14. Be patient when you take forever to get ready.
15. React so cutely when you hit him and it actually hurts.
16. Smile a lot.
17. Plans a romantic date full of things he wouldn't normally do because he knows it means a lot to you.
18. Appreciate you.
19. Help others out.
20. Drive five hours just to see you for one.
21. Always gives you a kiss when you leave, even when his friends are watching.
22. Sing, even if he can't.
23. Have a creative sense of humor.
24. Stare at you.
25. Call for no reason.

Tuesday, August 10, 2010

a month of KKN ;)

woooh, seems like i've not been blogging sooo long! hahahaha

a week ago, i had to attend that university's program called KKN (kuliah kerja nyata.. or kisah kasih nyata, eh?) :p
it was only a month, but friendship will never ends :)
funny and unpredictable (it really was!) when friends from other faculties are in,
mixed into one big group that has the same mission.
and when that mission accomplished.. we'll miss the times we had spend together. :)

proudly present (some) photos here.. enjoy!



a very complete group's rangers ;)



the girls; being a elementary school's teacher has never been easy.. trust me!



me and tepi, and also our fave sosis tempura ;p



with other girls, after playing uno (hahaha yes call us jobless!)



aaah and check out the scandals! that's why KKN also refers to kisah kasih nyata ;)




still, more photos to be uploaded (argh!)

thank you for being such a very nice friend, you all :)


me gonna miss you!

When we first talked to each other
I knew we would always be friends.
Our friendship has kept on growing
And I'll be here for you to the end.
(Rachel Ellis)